Yang Terlupakan Pada Adat Pengantin Jawa Sala

Upacara dan adat istiadat pernikahan adalah suatu tata cara yang lazim dipergunakan dan dilakukan nenek moyang kita pada zaman dahulu sampai sekarang.
Tata cara tersebut tidak meninggalkan sopan santun, tata tertib serta ketepatan waktu yang baik.
Dalam hal ini kami uraikan tatacara mantu, yang biasanya akan didahului oleh suatu permohonan dari fihak pria yang berupa surat lamaran.

SURAT LAMARAN
Surat lamaran ini ditujukan kepada orangtua pihak putri. Pada zaman dahulu surat lamaran ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Jawa.
Kalau sekarang cukup dengan huruf latin dan Bahasa Indonesia. Tetapi ada baiknya kita tidak melupakan untuk menyertakan kata-kata mutiara dalam adat pengantin itu yang isinya merupakan harapan agar terkabul apa yang diharapkan. Seperti misalnya kata-kata mutiara berikut ini :
“Ngebun – Ngebun Enjing, Anjejawah Sonten” yang artinya :
Mengharapkan kemurahan hati dari orang tua sang putri sehingga boleh menyunting putrinya”
Surat lamaran lazimnya dibawa oleh kakak dari ayah atau ibu calon pengantin pria. Jika surat lamaran itu sudah diterima, orang tua calon pengantin putri harus menjawabnya. Isi balasan itu bisa berupa penerimaan atau penolakan, tetapi disampaikan dengan cara yang sangat halus.
Biasanya penolakan jarang terjadi karena sudah diatur dan disepakati bersama
Sehingga surat lamaran tersebut hanya merupakan suatu formalitas saja. Balasan ini harus diberikan ± ½ bulan setelah surat lamaran itu datang.
Jika balasan itu mengandung arti persetujuan, maka segera dilaksankan pembicaraan untuk ritual berikutnya yaitu : Srah – Srahan.